A little story about how he's gone : Ayah


Sudah lama sekali sejak terahir saya bermimpi tentang (alm) ayah. Hari ini disiang hari saat saya tidur karena efek obat flu, saya memimpikan beliau lagi. Dan disetiap mimpi tentang beliau, tak pernah saya tidak menangis ketika bangun. Sudah empat tahun sejak ayah dipanggil pulang oleh Allah SWT dan Bulan ini, jika ayah masih hidup, usianya genap lima puluh tahun.
Kali ini saya ingin sedikit bercerita tentang ayah saya.
Ayah , lahir di Banda Aceh 18 September 1964 yang kemudian oleh kedua orang tuanya diberinama Lucky Permadi. Dulu kerap kali saya mendapat cerita bahwa namanya memiliki arti khusus, Lucky yang dalam bahasa inggris artinya keberuntungan sedangkan Permadi merupakan singkatan Pertama Ema dan Edi (Ema adalah nama Nenek saya dan Edi adalah nama kakek saya). Jadi katanya, ayah saya adalah anak pertama dari kedua kakek nenek saya yang diharapkan membawa keberuntungan.
Selama saya duduk di bangku sekolah dasar, ketika saya diminta menuiskan nama kedua oang tua saya, saya pasti selalu menambahkan kata S,H. dibelakang nama ayah. Dulu dipikiran saya yang masih anak-anak, rasanya senang jika orang  tahu ayah saya seorang sarjana hukum. Tapi setelah besar, saya baru tahu bahwa ayah sendiri tidak pernah menaruh gelar itu ketika ia menuliskan namanya sendiri.
Ayah saya seorang yang dapat dikatakan penyandang disabilitas. Dulu ketika ayah masih kecil, kakek sempat mendapat tugas dinas di Pontianak dan akhirnya membawa semua anggota keluarganya ikut. Ayah kemudian terkena penyakit polio disana dan gawatnya  pada waktu itu penggunaan vaksin polio belum digalakkan seperti sekarang. Akibatnya sejak kecil, salah satu kaki ayah berukuran lebih kecil dan nampak sedikit menggantung sehingga tidak mampu menopang bobot tubuhnya. Dulu kerap kali saya melihat foto ayah yang menggunakan sepatu besi untuk membantunya dapat berjalan, namun semakin dewasa ayah lebih memilih untuk menggunakan tongkat besi.
 Meskipun cacat, saya ataupun adik-adik saya tidak pernah sekalipun malu akan hal itu.
Ayah bisa melakukan banyak hal layaknya orang normal. Ayah mampu mengimami kami solat walau dalam keadaan duduk. Ayah mampu menamatkan pendidikan sarjananya dan bekerja layaknya ayah yang lain. Ayah bisa mengendarai mobil dengan baik, ia sering mengajakku untuk pergi berwisata dengan mobilnya, bahkan ke tempat yang jalurnya curam seperti puncak. Ayah juga bisa berenang, bahkan lebih terampil dari saya. Ayah bisa memasak, masakannya mungkin tidak seenak buatan ibu saya, tapi saya sangat suka nasi goreng buatan ayah. Ayah mampu memperbaiki berbagai jenis barang rusak, entah itu elektronik, kendaraan ataupun peralatan rumah tangga. Dan yang paling penting, ayah punya pengetahuan yang sangat luas serta kemampuan diplomasi yang hebat.
Tapi ayah juga sepertinya jadi salah satu orang yang cukup egois yang pernah saya kenal. Jika ayah punya keinginan, ibu sekalipun tidak akan bisa cegah dan tidak jarang keinginannya datang disaat tidak tepat. Rasa egoisnya yang tinggi ini pun yang menjadi penyebab saya pernah bertengkar hebat dengan ayah. Tapi akhirnya dikemudian hari, saya sangat-sangat menyesal pernah membentak ayah. Tapi dari sini saya belajar, yang namanya jodoh itu memang ditakdirkan untuk saling mengisi. Ayah yang se egois itu, dipertemukan dengan ibu saya yang punya sabar luar biasa jadi bisa menutupi kekurangannya.
Kalau flashback tentang ayah, yang paling sedih selalu saat-saat ayah sebelum dipanggil yang Maha Kuasa. Dari dulu ayah memang punya kebiasaan merokok yang akut, yang jujur saya juga benci. Akhirnya karena kebiasaan yang tidak sehat itu, ayah terkena penyakit pembengkakkan jantung.  Hal lain yang saya kurang suka dari ayah (walaupun ini sebenarnya hal baik) adalah ia suka menuliskan keinginannya seandainya ajal menjemputnya semenjak ia sakit. Ayah kerap kali tiba-tiba bicara pada saya untuk terus menjaga adik-adik saya, membantu ibu saya, dan mengungkapkan pesan-pesan lain layaknya ia tahu ia akan segera pergi. Dan saya sebenernya benci hal ini, karena saya harus menahan rasa sedih tiap mendengar ayah berbicara seperti itu.
Hal ini sering terjadi, setiap ayah sedang sakit pasti ia berbicara seperti itu. Saking seringnya, saya akhirnya jadi sedikit kebal terhadap perkataannya dan tidak lagi merasa sedih. Termasuk pada hari menjelang ayah saya dipanggil pulang.
Satu hari sebelumnya, saya masih sekolah, saya memilih tidak langsung pulang dan mampir ke kosan teman saya untuk mengobrol padahal pelajaran sudah selesai sejak siang hari. Hari itu memang perasaan saya sedikit tidak enak, rasanya agak kosong saja. Di kosan teman, saya bercerita bahwa selama seminggu ini saya sering kali salah membaca niat solat, ingin solat fardu tapi saya selalu membaca niat solat mayit. Saya bilang ini efek praktik solat mayit minggu lalu saat saya mati-matian menghafal dengan cepat. Kemudian saya mampir ke penyewaan dvd untuk menyewa dvd film Avatar karena ayah saya ingin menontonnya.
Waktu kemudian berjalan seperti biasa sampai malam hari saat kami semua menonton avatar, tapi ayah malah memilih duduk sendirian disamping rumah. Sesekali saya melihat keluar dan mendapati ayah sedang duduk merenung. Saya hanya diam saja saat itu.
Tepat pukul dua pagi saat saya terlelap, ibu membangunkan saya dan berkata ayah sakit lagi. Saat saya menuju kamar ibu, ayah memang tengah menahan rasa sakit. Ibu bilang saat hendak masuk kamar, ayah tiba-tiba jatuh dan untungnya jatuh diatas kasur. Kami kemudian menyediakan pengobatan seperti biasa, dan seperti biasa juga ayah memberikan pesan-pesannya, padahal nafas nya tengah sulit. Saya mendengarkannya walau sudah menganggapnya hal yang biasa.
Menjelang pagi hari ayah sudah bisa tidur, Saya memilih tidak sekolah dulu, sedangkan adik-adik saya tetap pergi sekolah. Kami berpikir rasa sakitnya sudah berakhir, ternyata itu awal dari rasa sakit yang hebat. Ayah kemudian mengalami pendarahan lewat hidung, ia tidak lagi mengerang tapi aku yakin rasa nya pasti sangat sakit. Saya dan ibu masih berupaya memanggil ayah, tapi akhirnya kami menyerah saat menyadari nafasnya sudah berhenti.
Ya saya memilih berhenti dan menerima, barusan seorang malaikat maut bertamu ke rumah kami dan membawa ayah pergi.
Sedih? Ya, tapi saya berusaha untuk tidak menangis dulu dan memilih mengabari orang-orang terdekat, keluarga, tetangga juga teman. Kami kemudian dibantu mempersiapkan segalanya. Saya mulai menangis saat kedua adik saya yang bersekolah, pulang dan mendapati ayah tengah tertidur kaku dikelilingi banyak orang. Terutama adik laki-laki saya yang sedikit histeris, ya maklum saja, dia anak laki-laki satu-satunya yang sangat dimanja oleh ayah.
Diantara semua itu, saya masih sangat bersyukur bahwa hari itu adalah hari jumat, bahwa sebelum tidurnya, ayah masih berdzikir dan banyak orang yang menyolatkan ayah. Memang hanya Allah yang maha tahu apa yang terjadi dan apa yang terbaik, tapi setidaknya saya lega, ayah memiliki tanda jalan yang cukup baik.
Semenjak hari itu, butuh waktu lama buat saya untuk tidak bersedih tiap malam. Dan yang paling berasa, saya jadi lebih susah ambil keputusan karena biasanya ayah yang menentukan harus-harus gimana. Tapi akhirnya perasaan sedih berkepanjangannya bisa hilang.
Ada satu kalimat yang pernah saya kutip berbunyi seperti ini.
Because in the end, when you lose somebody every candle is not going to make up for the fact the only thing that you have left is the hole in your life where somebody that you cared about  used to be.”
Ini hanya perumpamaan, tapi mungkin cukup menggambarkan. Memang rasanya sulit menutup suatu lubang tempat kenangan seseorang berada. Saya cuma bisa berkelana selama hidup kita, melanjutkan semua cita dan berusaha untuk tidak terjatuh didalam lubang  itu. Sekalipun terjatuh tak butuh waktu lama untuk kita keluar dari lubang itu. Karena lubang itu akan selalu ada.
Ayah kini hanya bisa hidup dalam kenangan, tapi dalam kenangan itu tidak akan ada yang menggantinya. Ada banyak hal dalam hidup ayah yang mungkin belum saya wujudkan, tapi percayalah ayah, anakmu ini tak pernah sekalipun berhenti mendoakannmu dalam setiap sujudnya.
Dan hari ini saya sangat-sangat merindukan ayah, jika punya satu kesempatan, walaupun hanya satu menit, saya pasti akan pakai sebaik-baiknya untuk peluk ayah dan bilang saya sayang ayah.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama