Satu Klik dan Bagikan. Apakah Semudah Itu?

Kita memang patut bersyukur bisa mendapat kemudahan di jaman digital ini. Dengan adanya alat bantu seperti smartphone dan laptop, banyak informasi yang bisa kita dapatkan bahkan bagikan hanya dalam satu kali klik. Beban untuk membawa bermacam-macam buku, menuliskan banyak kalimat, logikanya memang akan menjadi ringan.



Tapi, apakah kemudahan ini membawa dampak yang selalu baik? Saya rasa tidak.

Terus terang, alasan saya menulis tema seperti ini karena saya cukup kesal melihat perilaku pengguna media digital ini dalam menyiarkan berita yang mereka dapat. Berbagi berita dan menyampaikan informasi kepada mereka yang tidak tahu Itu memang hal yang bagus. Namun lebih bagus lagi jika tidak diimbangi emosi dan provokasi yang berlebihan. Ditambah dengan ketidaktahuan sumber berita yang disebarkan itu termasuk valid atau tidak. Padahal kebenaran dari hal yang akan disiarkan ke khalayak banyak itulah yang penting. Ketika memiliki keberanian untuk menyampaikan sesuatu berita, kita harus sadar bahwa ada pertanggung jawaban atas hal yang akan terjadi setelah berita itu tersebar. Tentang penerimaan serta respon balik masayarakat untuk satu sama lain.

Di sisi lain, seorang pembaca juga harus sama telitinya untuk memilih berita mana yang akan anda jadikan pedoman untuk bertindak, karena salah satu kelemahan dari media digital adalah, mudahnya membuat dan mudahnya menghilangkan. Sangat mudah sekali menuliskan suatu artikel berita. Semisal suatu situs portal berita ternyata menyiarkan berita yang salah, mereka bisa saja langsung meninggalkan situs tanpa harus repot menerima protes. Sehingga tingkat validitasnya pun tidak tinggi.

Nah sikap dari penyampai dan pembaca berita yang tidak memperhatikan validitas berita akhirnya menimbulkan perpecahan diantara masyarakat. Mereka yang terbawa percaya atas berita apapun yang datang padanya akan menyulut provokasi untuk bertindak, dan cenderung anarkis, mengeluarkan komentar panjang lebar yang menghina, membuat kampanye di media sosial yang sebenarnya tidak berguna. Dan ketika ada yang tidak sependapat dengannya, terjadilah perselisihan.

Sadar deh, ini yang tengah terjadi sekarang diantara kita.

Untuk menangkal hal itu dan membiasakan diri kita lebih kritis dalam menghadapi berita yang ada. Dalam pendapat saya, ada beberapa hal yang harus dicermati :


1. Domain Pribadi bukan jaminan 
Saya pribadi bukan tipe orang yang selalu percaya bahwa situs dengan domain pribadi (xxx.com /xxx.co.id dll) lebih valid dari situs dengan domain gratis bawaan dari provider domain (xxx.blogspot.com / xxx.wordpress.com dll). Karena membuat domain itu sebetulnya mudah, dan harganya relatif murah untuk jangka waktu tahunan. Itu memang salah satu tolak ukur keseriusan dalam membuat website, tapi salah satu, bukan selalu. Banyak orang yang memilih bertahan dengan domain gratis karena memang fokus pada penulisan artikelnya saja, tanpa domain pribadi pun pembacanya bisa banyak. Tergantung dari kualitas artikelnya.
 
Sekarang misalnya begini, anggaplah saya orang jahat yang mau memprovokasi banyak orang.

Kemudian saya membuat website, lalu membeli  domain pribadi, misalnya saya beri nama www.annisanews.com. Lalu saya desain pelan-pelan web tersebut menjadi ciamik. Saya mulai menulis banyak berita :

"Bapak Menteri Tertangkap Kamera Sedang Bermain Angry Bird di Rapat"

Disaat rakyat menunggu hasil rapat yang menentukan nasib negeri, menteri ini malah asyik main Angry Bird


Bisa jadi situs berita yang kesannya valid toh? Web sudah ciamik abis. Saya tarik orang-orang untuk ikut pasang iklan. Lalu saya sertakan gambarnya seorang menteri sedang duduk main angry bird hasil photoshop yang rapih banget. Ketika ada berita seperti itu tidak sedikit orang yang akan percaya. Padahal cuma berita palsu.
 
Intinya siapapun bisa membuat website yang menarik dan ciamik. Detail website itu bisa diatur dengan bermain di script, saya saja yang awam bisa kok sedikit-sedikit. Apalagi yang mahir. That's the piece of cake. Masih banyak lagi hal yang harus diperhatikan tentang validitas berita.


2. Tim Redaksi dan referensi

Jangan terlalu menggantungkan kepercayaan pada situs berita tanpa tim redaksi dan jarang menuliskan sumber referensi. Ini perbedaan mendasar antara situs yang valid atau tidak. Saya ambil contoh kompas.com (bukan bersifat promosi, hanya untuk contoh)


(Gambar Diambil dari link Kompas Ini)

Ada susunan editorial yang jelas beserta alamat kantor, nomor telepon untuk mengontak tim redaksi. Mereka berani menampilkan kejelasan tim karena cenderung merasa percaya diri atas berita yang ditampilkan. Seandainya pun ada suatu berita atau opini yang salah, kita bisa dengan mudah bertanya atau bahkan melayangkan protes.

Di akhir artikel juga dicantumkan sumber berita yang ditulis, sehingga dengan mudah kita bisa menelusuri lebih lanjut. Artikel tersebut juga berarti bukan hanya semata opini.




Tanpa sumber referensi dan tim editor, ditakutkan berita sampai ke publik berupa opini sepihak dengan bahasa yang provokatif tak berimbang. Misalnya, karena saya benci tahu, saya ingin citra tahu itu jelek. Akhirnya saya tulis,

 " Fakta Tahu : Tidak ada protein terkandung dalam tahu"

Kita selama ini sudah salah kaprah bahwa tahu adalah sumber protein. Menurut penelitian profesor Robert Pattinson dari Harvard University......
 

Sekarang, kalau tidak ada sumber referensi yang mengatakan benar adanya penelitian tentang tahu dan benar adanya profesor Harvard yang namanya robert pattinson, masih bisakah dipercaya beritanya?

Inilah tugas semua orang, cermati sampai detil setiap berita di media digital ini. Ada beberapa memang situs yang dikelola hanya 2 atau 3 orang sehingga mereka tidak mencantumkan tim redaksi. Kalau sudah begitu, cermatilah isi beritanya dan bandingkan di situs dan sumber bacaan lain yang dianggap lebih valid.

3. Bedakan portal berita dan portal opini

Portal opini berarti seperti blog, seperti saya ini yang memang mengeluarkan pendapat atau tanggapan. Kadang mungkin membagi berita juga ke publik, tapi biasanya portal opini hanya berisi gagasan dan pendapat bukan penyampaian berita secara objektif. Ada beberapa portal berita yang juga mengeluarkan portal opini. Saya ambil contoh kompas lagi ya.

Ada situs kompas.com dan kompasiana.com. Kompasiana adalah portal opini, sama seperti blog. Isinya orang-orang yang menuliskan tanggapan atau pendapat mereka tentang keadaan di berbagai bidang.  Dalam mengambil pemikiran dari opini, saya rasa harus punya kecermatan yang lebih karena opini biasanya tanpa ada editing apakah layak untuk dikonsumsi publik atau tidak, dan punya keberpihakan penulis yang tidak selalu berimbang. Dalam aturan referensi, portal opini tidak bisa dijadikan referensi. Hanya sebagai penunjuk, topik apa yang selanjutnya ingin dicari dan dibahas.


4. Keberpihakan penulis

Keberpihakan penulis bukan bahasa asing. Hal ini sudah dipelajari di mata pelajaran bahasa Indonesia sejak dari SMP. Nah, Keberpihakan penulis adalah kecenderungan penulis untuk memberikan dukungan pada pihak apa atau mana yang diungkapkan dalam sebuah tajuk rencana. Jadi apakah tujuan penulis ini memihak si protagonis atau antagonis, pihak satu atau pihak yang lain. 

Keberpihakan penulis akan selalu ada karena opini pasti bergantung pada satu hal dan bukan dua, tapi

Yang saya perhatikan di banyak berita, keberpihakan penulis benar-benar timpang. Ketika ia ingin mendukung pihak yang satu, dia akan mati-matian menjatuhkan pihak yang lain. Salah satunya dengan berusaha mengungkapkan fakta buruk yang belum tentu benar adanya. Judul berita biasanya sifatnya terlalu provokatif dan sensasional, tujuannya? tentu menaikan ratting pembaca. Saya rasa ada aturan jurnalistik yang mengatur tentang penulisan judul yang baik dan yang jelas bukan bersifat sensasional seperti kebanyakan berita sekarang.

Ini salah satu faktor tingkat validitas berita. Cermati lagi tulisannya, ketika penulis terlalu fanatis terhadap salah satu pihak, saya rasa kita harus mencari sumber lain untuk dibaca, karena biasanya akan diikuti serangkaian perusakan citra pihak yang lain. Ketika memang keberpihakan penulis itu bisa dibuktikan secara keseluruhan, baru bisa dipertimbangkan soal validitasnya.

5. Kembali Ke Buku
 
Saya mungkin orang yang konservatif karena masih punya fanatisme yang tinggi terhadap buku daripada ebook. Tapi ini salah satu cara saya untuk mencari validitas berita. Apalagi jika dalam berita tersebut sudah mencantumkan ayat Al Quran atau Hadist. Pasti akan saya buka dulu Al Quran yang saya punya ataupun buku riwayat hadist nya memastikan semuanya itu tepat.

Menurut saya buku, punya tahapan suntingan yang lebih berlapis ketimbang apa yang ditampilkan di website. Editornya pun bisa beberapa orang. Jarang juga buku yang tidak ada daftar pustaka dibaliknya. Meski begitu saya pun tetap masih pilah pilih penerbit dalam mengambil buku sebagai pembanding validitas berita. Sudah kenal saja penerbit mana yang memang rapih dalam suntingannya dan mana yang tidak.

Itu mungkin beberapa hal yang biasa saya cermati dalam membaca berita.

Sekarang mungkin, ada beberapa sikap yang mungkin masih harus sama-sama kita biasakan dalam menanggapi berita.

1. Jangan ada emosi berlebihan

Tanggapi berita apapun dengan bahasa yang baik. Jangan terlalu terbawa dengan berita sebelum berusaha mencermatinya. Kalaupun sudah dan ternyata berita itu benar, tidak perlu juga marah-marah dan berkata-kata tidak baik. Tidak ada untungnya juga toh? Sikap kasar hanya akan menjadikan masyarakat terpecah belah dalam idealisme mereka masing-masing. Dalam islam bahkan diatur pula untuk berkata lemah lembut karena itu adalah rahmat Allah SWT.

2.  Jangan sembarangan menuduh

Jangan sampai terucap atau tertulis oleh kita tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kepada saudara kita sesama masyarakat atas berita yang kita lihat karena itu akan menjadi fitnah. Akhirnya kita harus menanggung dosanya, ditambah telah sempat mencemarkan nama baiknya. Seringnya kita menanggapi berita dengan rasa kesal, akan membiasakan kita untuk terus-terusan bersikap apatis tanpa mau mempedulikan kebenaran beritanya yang berujung fitnah ini.

3. Jangan menambah provokasi

Karena sudah terpancing satu berita yang belum tentu valid, lantas beberapa orang langsung membagikannya lalu mengajak orang-orang untuk sependapat dengannya. Selamat! menurut saya, anda resmi jadi provokator kalau begitu. Ada banyak cara untuk mengungkapkan pendapat terhadap satu berita selain provokasi. Ajak saja orang lain berdiskusi tentang berita tersebut, kita bisa mendengar pendapat orang lain yang mungkin ada beberapa bagiannya yang tidak kita perhitungkan dan memperbaiki citra kita terhadap berita itu sendiri.

4. Jangan "Tong Kosong Nyaring Bunyinya"

Jangan ikut menanggapi sebelum punya pengetahuan yang cukup dari hasil menjelajah beberapa referensi. Jangan sampai karena melihat orang lain sudah kesal, jadi hanya ingin ikutan kesal dan ikut berkomentar yang tidak-tidak.

Nah, atas apa yang saya ceritakan di atas, saya selalu menyimpulkan bahwa tidak semudah itu kita bisa membagikan berita jika belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Tanggung jawabnya adalah perubahan pola pikir orang banyak, dan jika belum siap menanggungnya sebaiknya teruslah cermat dalam menanggapinya.

Semoga bisa sama-sama jadi pengingat :)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama