Ngalor Ngidul Soal Nikah

Menikah.
Di usia begini, saat-saat sudah punya pekerjaan dan saat teman-teman sebaya sudah melangkah duluan, pertanyaan ‘kapan nikah?’ jadi pertanyaan paling sering muncul dari kerabat. Walau sebenarnya saya yakin, itu cuma pertanyaan basa-basi dan tidak semua orang benar-benar peduli kapan saya mau nikah. 

Yes, Indeed,
Menikah itu ibadah...
Menikah itu baiknya disegerakan...
Menikah itu jangan tunggu mapan...

Benar saya setuju... 

Tapi bagi saya menikah itu hal krusial, dan 3 pernyataan diatas itu punya makna yang lebih panjang dibanding kalimat itu sendiri.

Suatu hari seorang kerabat pernah bertanya kepada saya , apa saya tidak mau nikah muda. Simpel saya jawab saya belum terpikir buat menikah dalam waktu dekat. Dia bertanya lagi, apa pacar saya belum mengajak ke arah pernikahan. 

‘Saya jomblo. Ga punya pacar.” Jawab saya sambil nyengir sedikit waktu itu.
Dan kemudian dia sedikit heran mengapa saya belum punya pacar. Katanya umur segini belum punya pacar terus kapan mau nikahnya. Nikah itu kan harus disegerakan, itu kan ibadah, perempuan jangan tua-tua nikahnya.

Meh...

Saya sering mendapat pertanyaan semacam itu akhir-akhir ini, dan saya terlalu malas untuk menjelaskan alasan saya memutuskan untuk tidak punya pacar lagi dan segala cerita lainnnya. 

Akhirnya saya Cuma bisa jawab, 
“ Jodoh udah ada tulisannya, santai aja lah. “ sambil berlalu dari hadapan dengan kece.

Bagi sebagian orang, kehidupan percintaan itu sesederhana punya pacar, lulus kuliah dan punya pekerjaan lalu sudah waktunya menikah, ya menikah lah.

Tapi saya entah kenapa punya banyak pertimbangan. Pertimbangan ini murni idealisme pribadi sih , tidak buat menyingkirkan apa yang orang lain yakini. Kalau sama-sama setuju, ya mari kita tos lah

Pertimbangannya soal kemampuan mental. Apa mental dan batin saya siap buat jadi seorang istri dan ibu kelak. Kesiapan buat menjalani dua peran itu lebih dari sekedar punya kemampuan bisa masak, nyuci, nyetrika. Tapi soal kesadaran peran dan ketaatan agama.  Sudah bisa belum ya ego independensi nya itu ditekan untuk berbagi pikiran dengan suami, sudah siap belum ya mengesampingkan semua demi jadi madrasah dan perisai buat anak-anak kelak. Tulisannya mungkin cuma dua kalimat, tapi penerapannya tidak sesederhana itu kan. Ada banyak hal yang harus dilalui untuk sebuah metamorfosa. 

Yang paling penting apa yang sudah saya perbuat untuk menyiapkan itu semua? Saya kurang setuju kalau itu semua nanti bakal tumbuh sendiri setelah nikah. Gimana mau tumbuh kalau ga pernah ditanam? Kalau sekarang saja mental dan batinnya  tidak ada persiapan. 

Sampai sekarang, masih banyak perilaku yang perlu diubah. Makanya saya tidak ngebet alias berkeinginan besar berlomba-lomba menikah. Tapi saya juga tidak diam. Biarkan saya berusaha dulu memantaskan diri untuk sebuah peran besar. Menurut saya ini memang salah satu cara menjemput jodoh.  Allah SWT adalah sebaik-baiknya penilai, yang maha tahu apa saya sudah cukup layak menanggung jabatan sebagai istri. Ketika memang sudah layak, Allah juga akan pertemukan seorang teman hidup yang layak buat saya. Barulah kita sama-sama berjalan menyempurnakan iman dan menikmati indahnya kehidupan pernikahan. *tsah*

Itu pertimbangan terbesar saya soal tidak buru-buru menikah, soal kesiapan mental, bukan soal kesiapan materi yang banyak orang kira. Saya tidak menunggu mapan, punya helikopter dan pulau pibadi buat menikah atau mengharap punya suami yang kaya harta. Saya cuma berharap punya suami yang terus berusaha untuk menjaga jalan kehidupan keluarganya tetap layak.

Pernah suatu hari saya posting foto di sosial media yang bertuliskan kira-kira begini :
‘Seorang perempuan berusaha mati-matian untuk membahagiakan kedua orang tua yang sudah membesarkannya dari kecil, lah kamu yang ketemu saat besar mau mengajak hidup susah?”

Dan atas foto tersebut ada beberapa orang yang langsung merespon saya sebagai ‘perempuan yang ga bisa diajak hidup susah’alias ‘ matre’

Men..

Kalau saya boleh membela diri, saya bukannya tidak mau diajak hidup susah. Dari awal juga saya bukan orang kaya dan sering mengalami masa-masa hidup susah. Foto itu saya tujukan buat orang yang mengatasnamakan tagline ‘hidup susah tak masalah asal masih saling cinta’ untuk menutupi kemalasan mereka dalam kewajiban mencari nafkah.

Kalau memang suatu hari dalam perjalanan keluarga saya dihadapkan kesulitan yang dalam soal harta dan pendapatan, marilah kita tetap jadi satu untuk menghadapi semua, mari tetap hidup bersama walau keadaan sangat sulit. Mari sama-sama berusaha dan bangkit. Saya tidak pernah masalah harus menghadapi kondisi macam begitu asal kita tetap sama-sama dan tetap berusaha.

Lagaknya seperti yang sudah pernah menikah saja ya hahaha

Tapi sedikit banyak saya sudah belajar dari beberapa kondisi pernikahan orang-orang yang saya kenal, terutama jatuh bangunnya dari Ibu dan Ayah saya yang masih sama-sama walau bagaimanapun sulit kondisinya. Nah Mental seperti itu juga didapat dengan persiapan toh?
Ya, yang penting kita sama-sama berusaha.

Jadi, begitulah.

Buat saya. Menikah bukan soal berlomba siapa cepat jadi yang paling terhormat, bukan juga soal harta yang banyak atau sedikit. Ini soal merasa diri layak atau tidak menyandang jabatan baru yang tanggung jawabnya besar. Kalau sudah layak, Allah SWT akan segera menghadirkan orang yang juga layak memiliki kita seutuhnya dengan cara yang menis. *tsah*

Tetap percaya dan berusaha...

Dan buat yang hobinya bertanya ke orang-orang tentang kapan mereka menikah? Kurangi dosisnya mulai sekarang. Syukur kalau orangnya macam saya yang tidak terlalu diambil pusing. Diluar sana juga ada lho orang yang akhirnya jadi terganggu akibat pertanyaan macam begitu. Akhirnya mereka jadi gusar sendiri. Bukan salah mereka juga, siapapun bakal gusar kalau terus-terusan ditanya seperti itu.

Oh ya, kalau kamu mungkin adalah satu dari sekian orang yang merasa gusar itu, coba sesekali putar lagu ‘Our day will come’. Saya suka versi glee nya. Lagu itu berkisah soal, hari bahagia yang pasti akan datang pada semua orang. 

Our day will come And we’ll have everything
We’ll share the joy, Fallin’ in love can bring...
...Our day will come if we just wait a while
No tears for us, think love and wear a smile
Our dreams have magic because we’ll always stay in love this way
Our day will come...

 Percaya deh, lebih bikin semangat dibanding lagu melow patah hati, kecewa galau.
Tapi yang lebih baik lagi, banyak puasa sunnah dan hapalan quran nya ditingkatkan. Insya Allah bisa lebih bikin hati tenang. :)

Salam super.

2 Komentar

  1. Setuju saya dengan tulisan ini, Mbak. Menikah memang bukan perkara mudah, sementara saya sendiri masih egois. Atas alasan ini pula, saya menunda berpacaran (karena saya merasa berpacaran itu hanya berlaku bagi orang-orang yang sudah siap menikah).

    Tapi jujur saja, ada saja keluarga yang usil menanyakan "kapan nikah?" saat saya masih berumur 18 tahun.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama